Bagi penggemar acara Empat Mata, Bukan Empat Mata atau Ini Baru Empat Mata yang tayang di Trans 7 beberapa waktu yang lalu pasti sering mendengar ledekan sang host, Tukul Arwana, kepada tandemnya, Vega Darwanti, tentang nama suatu kecamatan di Kabupaten Blora. Ya, kecamatan di Blora yang dimaksud adalah Randublatung. Saat itu, Tukul Arwana menggambarkan Ngatini (julukan Vega Darwanti) berasal dari suatu daerah ndeso dan terbelakang bernama Randublatung. Bahkan untuk pergi ke kota, Tukul meledek Ngatini nggandol truk pasir karena nggak ada angkutan umum. Hmmm, separah itukah Kecamatan Randublatung Blora? Nggak! Saya menolak anggapan itu. Kalau menyebut Randublatung itu ndeso pada 10 atau 15 tahun lalu mungkin ada benarnya. Sekali lagi, itu dulu, ya. Sekarang anggapan Randublatung ndeso sudah nggak relevan. Kecamatan yang terletak di wilayah Blora Selatan ini sudah banyak kemajuan dan layak bersaing dengan daerah lain di Kabupaten Blora. Infrastruktur jalan di Kecamatan Randublatung Blora lebih baik Saya berkunjung ke Randublatung pertama kali sekitar 14 tahun yang lalu. Saat itu saya pergi ke sana untuk mendampingi seorang tamu kantor yang sedang melakukan pemeriksaan pada beberapa proyek pemerintah. Kesan pertama saya ketika berkunjung ke Randublatung adalah nggak pengin ke sana lagi. Tapi itu dulu, Gaes. Sekarang Randublatung Blora sudah nggak kayak gitu. Sekitar dua minggu lalu saya ada acara dinas di sana. Ruas jalan Blora-Randublatung yang semula rusak parah sekarang sudah jauh lebih bagus. Jalan kabupaten yang sebelumnya berlubang di mana-mana, sekarang sudah mulus dan lebih kuat karena menjadi jalan rigid beton. Selain itu, waktu tempuh dari Blora ke Randublatung juga jadi lebih singkat, cuma sekitar 30 menit. Pembangunan infrastruktur seperti itu memang nggak bisa langsung selesai dalam waktu setahun, Gaes. Hal itu terjadi karena keterbatasan anggaran dan prioritas pembangunan. Nggak semua anggaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur, kan? Bisa jadi APBD digunakan untuk membiayai sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan. Oleh sebab itu pembangunan ruas jalan Blora-Randublatung dilakukan dalam beberapa tahap hingga jalan tersebut benar-benar siap digunakan masyarakat. Terbukanya akses menuju Kabupaten Ngawi Menurut saya, letak geografis Kecamatan Randublatung ini sangat strategis karena menghubungkan Blora dengan beberapa daerah di sekitarnya. Contohnya jalan provinsi yang menghubungkan Cepu-Purwodadi (Kabupaten Grobogan). Selain itu, Kecamatan Randublatung juga menghubungkan antara Blora dengan Ngawi, Jawa Timur. Dengan letak yang strategis ini maka pembangunan infrastruktur jalan menjadi penting karena bisa membuka akses suatu daerah dengan daerah yang lain. Apabila akses sudah terbuka, maka perekonomian masing-masing daerah juga semakin meningkat. Source by : Rudy Tri Hermawan mojok.co ○ Membicarakan kuliner khas Blora memang tidak pernah ada habisnya. Daerah dengan sebutan Kota Mustika itu terkenal dengan satenya, soto kletuk, lontong opor ngloram, dan masih banyak lagi. Bahkan, di Blora juga ada kuliner ekstrem yang berasal dari kepompong ulat jati bernama Ungker. Sekilas mendengar asal-usulnya saja sudah geli ya. Namun, kuliner khas Blora ini ternyata cukup populer lho. Selain unik, ungker punya rasa yang lezat. Di bawah ini fakta-fakta tentang panganan ekstrem yang satu ini: #1 Ungker hanya ada setahun sekali Kalau kalian mengunjungi Blora di penghujung tahun, kalian akan menjumpai banyak penjual Ungker di pinggir jalan. Jalan nasional Cepu-Blora salah satunya. Namun, pemandangan semacam ini ternyata tidak bisa ditemukan kapan saja. Ungker hanya ada di bulan-bulan tertentu saja, biasanya bulan Desember atau saat musim hujan. Pada musim hujan daun-daun pohon jati yang menghijau menjadi santapan ulat jati. Itu mengapa berburu kepompongnya sangat mudah di musim-musim ini. Biasanya, masyarakat masuk ke hutan-hutan jati demi berburu kepompong ulat jati ini, entah untuk diolah menjadi panganan atau sekadar kesenangan saja. Asal tahu saja, sebagian besar wilayah di Blora, mungkin mencapai 50 persen adalah hutan jati. #2 Harganya bisa melebihi daging sapi Ungker yang hanya muncul di musim tertentu membuat keberadaannya langka. Tidak heran ketika dijual harganya melambung. Ingat teori permintaan dan penawaran kan? Bahkan, harga ungker bisa lebih mahal daripada daging sapi. Setahu saya, harganya di kisaran Rp100.000-150.000 per kilogram saat ini. #3 Ungker mengandung protein yang tinggi Ungker menyimpan kandungan gizi yang tinggi. #4 Bisa diolah menjadi beberapa masakan Ungker bisa diolah menjadi beberapa jenis masakan yang lezat. #5 Menjadi desain untuk batik khas Blora Saking kuatnya keunikan ungker, kepompong mungil ini ternyata menjadi inspirasi motif batik Blora. Tentu saja selembar batik tidak semuanya bermotif kepompong ulat jati. Biasanya motif ungker dipadukan dengan gambar lain yang mengangkat tema ciri khas Blora, misalnya daun jati, pohon jati, sate, dan lainnya. Source by : Rudy Tri Hermawan mojok.co ○ Saya heran grup WhatsApp alumni yang biasanya lengang tiba-tiba ramai sekali. Ada sekitar 30 pesan yang belum terbaca. Wah, ada apa ini? Kalau ramai begini biasanya ada hal menarik yang mereka bahas. Saya mulai membaca dari percakapan yang paling atas. Oalah, ini yang menjadikan grup WA heboh. Ternyata seorang teman mengirim link artikel dari media online yang membahas kota tempat tinggal saya, Blora! Lalu, mengapa jadi bahan gunjingan? Nah, ini yang menarik bagi mereka. Sebagian besar dari mereka menertawakan julukan Blora sebagai kota tersepi se-provinsi Jawa Tengah. Sumber berita tersebut memang tidak mengada-ada sih. Artikel itu mengutip data dari buku Provinsi Jawa Tengah Dalam Angka 2021 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng pada 26 Februari 2021 lalu. Apakah sebagai warga Blora saya malu dengan predikat “negatif” seperti itu? Tidak! Justru sebaliknya, belakangan Blora semakin dikenal luas oleh masyarakat Indonesia karena lima hal ini: #1 Penghasil kayu jati terbesar di Indonesia Ini lho, Gaes, yang mungkin menjadi penyebab Blora dikatakan sebagai kota tersepi di Jawa Tengah: 50 persen wilayahnya adalah hutan. Meskipun di sana-sini hutan tetapi ini hutan jati, Bro! Dengan wilayah yang separuhnya adalah hutan maka nggak heran kalau Blora menjadi salah satu penghasil kayu jati terbesar di Indonesia. #2 Produsen minyak bumi terbesar di Indonesia Sering mendengar nama Blok Cepu kan? Kata Cepu diambil dari nama sebuah kecamatan di Kabupaten Blora. Sejak era kolonial, Cepu sudah dikenal sebagai daerah dengan sumber minyak bumi yang melimpah sehingga memicu orang-orang Belanda untuk melakukan eksplorasi di sana Seiring dengan berjalannya waktu, Blok Cepu sebagai salah blok eksplorasi minyak terbesar di Indonesia tidak hanya dikembangkan di wilayah Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah saja, tetapi juga melebar ke dua wilayah di Jawa Timur yaitu Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban. Dilansir dari liputan6.com, pada 2020 produksi minyak Blok Cepu mencapai 210 mbopd atau setara dengan 30 persen produksi minyak nasional. Dengan produksi sebesar itu, maka Blok Cepu menempatkan diri menjadi produsen minyak nasional terbesar di Indonesia. #3 Bandara Ngloram Bandara yang terletak di kecamatan Cepu ini dibangun pada 1980. Pada awalnya bandara ini dimiliki oleh PT. Pertamina untuk menunjang operasional perusahaan, khususnya dalam mendukung pengelolaan minyak bumi di Cepu. Sayangnya, Bandara Ngloram hanya beroperasi selama empat tahun. Kemudian, pada 2019-2021 di bawah pengelolaan Kementerian Perhubungan, Bandara Ngloram dibangun kembali. Setelah peresmian pada 26 November 2021 lalu, maskapai Citilink melayani rute penerbangan Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta ke Bandara Ngloram Cepu sebanyak dua kali dalam sepekan yaitu setiap Senin dan Jum’at. Oleh karena adanya revitalisasi Bandara Halim Perdanakusuma maka sejak tanggal 18 Februari 2022 terjadi perubahan rute yaitu dari Cepu ke Surabaya. Rute yang baru ini dapat menghubungkan dengan penerbangan ke kota-kota di Indonesia lainnya, seperti Denpasar, Balikpapan, Banjarmasin, Bandung, dan lainnya. #4 Suku Samin Salah satu ciri khas yang lekat dengan Blora adalah Suku Samin. Nama Samin berasal dari seorang tokoh dari Blora bernama Ki Samin Surosentiko yang lahir pada 1859. Beliau mengembangkan ajaran Sedulur Sikep. Kata “sedulur” berarti saudara sedangkan kata “sikep” memiliki arti senjata. Jadi, ajaran tersebut bermakna mengadakan perlawanan tanpa kekerasan dan senjata. Konon, ajaran Sedulur Sikep inilah yang membuat pusing pemerintah kolonial Belanda karena orang-orang Samin menolak membayar pajak dan aturan-aturan dari penjajah. Sampai dengan saat ini, pengikut ajaran Samin Surosentiko ini menyebar di beberapa daerah sekitar Blora, antara lain Bojonegoro, Ngawi, Pati, Kudus, Rembang, dan Grobogan. Meskipun hidup dalam jaman modern, tetapi Suku Samin konsisten menjunjung tinggi warisan leluhurnya. Suku Samin mempertahankan sikap jujur, tidak iri dan dengki, selalu berprasangka baik serta sikap apa adanya. #5 Kota kelahiran tokoh-tokoh nasional Sebenarnya banyak tokoh nasional yang berasal dari Blora tetapi saya mengangkat dua nama yang saya anggap ikonik. Siapa yang tak kenal Pramoedya Ananta Toer dan Pratama Arhan? Keduanya berhasil mengangkat nama Blora di dalam maupun luar negeri. Yang pertama, Pramoedya Ananta Toer. Dia adalah salah satu sastrawan besar negeri ini. Pram (sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer) lahir di Blora pada 6 Februari 1925 dan wafat di Jakarta 30 April 2006. Sepanjang kiprahnya di dunia sastra, Pram telah menghasilkan lebih dari 50 karya sastra yang diterjemahkan dalam banyak bahasa asing. Tokoh berikutnya adalah Pratama Arhan. Setelah perhelatan Piala AFF 2020 lalu, nama Pratama Arhan menjadi idola baru masyarakat pecinta bola di Indonesia. Pemain yang berposisi sebagai bek kiri tim nasional Indonesia ini kerap membahayakan gawang lawan lewat tendangan keras kaki kirinya. Berkat aksi gemilangnya itu, klub kasta dua Liga Jepang, Tokyo Verdy, tertarik untuk memboyong kelahiran 21 Desember 2001 ini. Pratama Arhan resmi bergabung dengan Tokyo Verdy sejak diumumkan pada 16 Februari 2022 dan mendapatkan kontrak bermain selama dua tahun. Itulah lima hal yang belakangan membuat Kabupaten Blora semakin dikenal di negeri ini. Blora (mungkin) memang kota tersepi, tapi di balik itu semua, banyak potensi dan keunggulan yang bikin kota ini amat layak dikunjungi. Penasaran, Gaes? Dolan makane, Lur! Source by : Rudy Tri Hermawan mojok.co ○ Belakangan ini, saya melihat Terminal Mojok menjadi ajang curhat warga suatu daerah yang iri atau bahkan cemburu dengan daerah lain. Dari awal Juli sampai dengan saya membuat tulisan ini, setidaknya ada 8 tulisan yang menjabarkan kekurangan daerahnya dalam pembangunan, tetapi di sisi lain membanggakan daerah lain. Hmmm, menyedihkan nggak, sih? Saya membagi tulisan-tulisan tersebut menjadi dua jenis. Pertama, tulisan yang membandingkan pembangunan dua daerah bertetangga, contohnya tulisan Mas Yanuar Abdillah Setiadi soal Purwokerto. Ada juga tulisan Mas Diaz Robigo yang iri dengan Cikarang. Kedua, tulisan yang membandingkan pembangunan dua daerah tetapi tidak bertetangga, contohnya tulisan Mas Ricky Karunia Ramadhan soal orang Jember iri sama Jogja. Lalu, ada lagi tulisan Mas Ahmad Arief Widodo soal Semarang dan Cikarang dan Mbak Tiara Uci yang membahas soal Semarang vs Surabaya. Daripada capek membanding-bandingkan, kenapa nggak menulis soal dua daerah yang bekerja sama dalam pembangunan, sih? Lho, memangnya ada? Ada, dong. Coba deh lihat kerja sama antara Kabupaten Blora dan Kabupaten Bojonegoro. Meskipun berbeda provinsi, kedua kabupaten yang berbatasan langsung ini bekerja sama dalam pembangunan infrastruktur, lho. Sebagai orang asli Bojonegoro yang saat ini tinggal dan bekerja di Blora, saya turut merasakan hasil kerja sama dua daerah itu. Mau tahu kerja samanya seperti apa? Begini, lho, Gaes. embangunan Jembatan Terusan Bojonegoro-Blora (TBB) Jembatan Terusan Bojonegoro-Blora (TBB) memiliki panjang 1100 meter dan lebar 9 meter dibangun pada bulan Juni 2020. Jembatan yang membentang di atas Sungai Bengawan Solo ini menghubungkan wilayah Desa Luwihaji, Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro dengan Desa Medalem, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora. Pembangunan jembatan TBB yang menghabiskan anggaran sekitar Rp 97,5 miliar adalah bentuk kerja sama Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dan Blora. Selanjutnya, pada tanggal 3 Januari 2021 jembatan TBB diresmikan oleh Mensesneg Pratikno, Menhub Budi Karya Sumadi, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono didampingi Gubernur Jawa Tengah, Bupati Bojonegoro, dan Bupati Blora. Jembatan TBB juga membuka akses Blora wilayah selatan dengan Bojonegoro dan Ngawi. Sebelum ada jembatan TBB, warga Blora selatan yang akan pergi ke Bojonegoro dan Ngawi harus memutar ke Cepu dan Padangan dengan jarak tempuh yang lebih jauh, yaitu sekitar 30 km. Dengan adanya jembatan TBB, jarak ke Bojonegoro dan Ngawi menjadi lebih dekat. Selain harus memutar ke arah Cepu dan Padangan, dulu warga Blora selatan yang ingin pergi ke Bojonegoro harus naik perahu dengan perasaan was-was karena takut tenggelam. Sekarang mereka sudah tidak takut lagi pergi ke Bojonegoro karena bisa melintasi jembatan TBB yang aman dan nyaman. Pembangunan Ruas Jalan Penghubung Jembatan TBB ke Bandara Ngloram Setelah sukses bekerja sama dalam membangun jembatan TBB, Pemkab Blora dan Bojonegoro kembali menjalin kerjasama dalam pembangunan ruas jalan yang menghubungkan jembatan TBB dengan Bandara Ngloram, Cepu. Pembangunan jalan ini diperlukan agar masyarakat di wilayah Ngraho, Margomulyo, dan Ngawi tidak memutar dulu ke Padangan. Dengan demikian jarak tempuh menuju Bandara Ngloram menjadi lebih dekat. Dalam proyek yang bersumber dana dari Bantuan Keuangan Kabupaten Bojonegoro sebesar Rp34 miliar ini ada 4 ruas jalan yang dibangun. Keempat ruas jalan itu adalah jalan Menden-Ketuan, Ketuan-Panolan, Panolan-Klagen, dan Sidorejo-Kenongogong. Terus muncul pertanyaan: kok Kabupaten Bojonegoro bisa mendanai pembangunan jalan di daerah lain, sih? Jawabannya begini, Gaes. Seperti dilansir dari www.blorakab.go.id, ide ini berawal dari konsultasi Bupati Blora, H. Arief Rohman, S.IP., M.Si dengan Mensesneg, Pratikno perihal ruas jalan yang menghubungkan jembatan TBB dengan bandara Ngloram belum sepenuhnya bagus. Untuk membangun keempat ruas jalan itu diperlukan dana yang besar, sedangkan alokasi anggaran dari APBD jumlahnya terbatas. Dengan adanya permasalahan ini, Mensesneg menyarankan agar Pemkab Blora bekerjasama dengan daerah sekitar. Nah, melalui Perubahan APBD Kabupaten Bojonegoro Tahun 2022, Pemkab Bojonegoro memberikan Bantuan Keuangan kepada Kabupaten Blora. Dari kerja sama ini kalian bisa mengetahui bahwa kedua daerah ini tidak melulu bersaing kan, Gaes? Keduanya bisa berkolaborasi membangun suatu kawasan perbatasan yang manfaatnya dirasakan oleh masyarakat Bojonegoro dan Blora. Pembangunan Bendung Gerak Karangnongko Lagi-lagi Bojonegoro dan Blora berkolaborasi dalam pembangunan infrastruktur. Kali ini Bojonegoro dan Blora terlibat dalam Proyek Strategis Nasional, yaitu pembangunan bendung gerak Karangnongko. Lokasi bendung gerak Karangnongko ini memisahkan Desa Ngelo, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro dengan Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora. Sebagaimana dilansir dari https://pu.go.id, bendung gerak Karangnongko diproyeksikan dapat menyuplai air irigasi di kawasan Solo Valley Werken seluas 62000 hektare. Suplai air ini akan didistribusikan melalui Daerah Irigasi Karangnongko Kiri (Kabupaten Bojonegoro) dan Daerah Irigasi Karangnongko Kanan (Kabupaten Blora). Selain mengairi persawahan, bendung gerak Karangnongko beroperasi secara terintegrasi sebagai penyedia air untuk kebutuhan irigasi dan air baku pada wilayah Bengawan Solo Hilir. Wilayah ini meliputi Kabupaten Ngawi, Bojonegoro, Blora, Tuban, Lamongan, hingga Gresik. Saat ini pembangunan bendung gerak Karangnongko sudah dimulai pada proses pembebasan lahan. Selanjutnya pada tahun 2024 direncanakan pembangunan konstruksi dapat dilakukan sehingga ditargetkan selesai pada tahun 2027. Seluruh pendanaan pembangunan bendung gerak Karangnongko berasal dari APBN. Daerah yang terlibat kerja sama harus punya cita-cita yang sama Dari ketiga proyek di atas, saya bisa menyimpulkan bahwa semua daerah yang terlibat dalam kerja sama harus mempunyai semangat, cita-cita, dan pemikiran yang sama, yaitu pembangunan secara makro. Artinya, pembangunan yang dilaksanakan tidak hanya bermanfaat untuk satu daerah, tetapi juga bermanfaat bagi daerah lainnya. Tidak boleh ada pemikiran bahwa suatu daerah berkontribusi lebih besar dari daerah lain sehingga hasilnya nanti diklaim sebagai kesuksesan daerah tersebut. Atau mungkin malah sebaliknya, karena suatu daerah berkontribusi kecil maka daerah tersebut minder memanfaatkan hasil dari sebuah proyek kerja sama. Dengan berpikir secara makro maka daerah-daerah yang terlibat tidak hanya memikirkan pembangunannya sendiri, tetapi lebih luas juga berpikir tentang pembangunan di daerah lain karena sama-sama bagian tak terpisahkan dari NKRI. Membandingkan pembangunan dua daerah sih sah-sah aja sebagai kritik dan saran bagi pemangku kepentingan. Tapi, kalau terus-menerus mencari perbandingan juga nggak bijak, Gaes. Yang ada malah daerah kalian menjadi inferior daripada daerah lain dan ujung-ujungnya kalian nggak bangga dengan daerah sendiri. Ironis banget, kan? Ingat, Gaes, kata Farel Prayoga: ojo dibanding-bandingke! Kalau bisa bersama-sama membangun daerah seperti yang dilakukan oleh Bojonegoro dan Blora, kenapa nggak? Source by: Rudy Tri Hermawan mojok.co ○ Blora, kabupaten kecil yang berbatasan dengan Bojonegoro, memang banyak kekurangannya. Tulisan Mas Ahmad Nur Luqman di Terminal Mojok dengan judul Keluh Kesah Hidup di Blora: Jalan yang Tak (Pernah) Mulus dan Pariwisata yang Itu-itu Saja sudah menjelaskan beberapa persoalannya. Tulisan itu mengomentari jalanan Blora yang kerap rusak hingga klub bola yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Sebagai sesama warga Blora, saya mengapresiasi kritik dan saran dalam tulisan tersebut. Saya pun relate dengan keluh kesahnya terkait pembangunan infrastruktur jalan. Namun, soal jalanan dan destinasi wisata, saya rasa kita perlu memberikan apresiasi juga selain kritikan pedas. Di bawah ini saya jelaskan beberapa alasannya. Jalan di Blora memang buruk, tapi itu ada alasannya Jalanan yang buruk ada banyak penyebabnya. Ada yang memang tidak terurus oleh pemerintah setempat, ada yang karena kendala lain. Untuk Blora, saya rasa pemerintah sudah ada upaya untuk memperbaikinya, hanya saja terkendala secara biaya sehingga mempunyai ketergantungan tinggi pada bantuan pemerintah pusat atau pihak lain. Upaya pemkab Blora memperbaiki jalan terlihat dari beberapa langkah yang pernah dilakukan. Pertama, peningkatan status jalan Cepu-Blora menjadi jalan nasional. Sebagai seorang pendatang yang berasal dari Bojonegoro, saya pasti menggunakan ruas jalan Cepu-Blora untuk pulang kampung. Tiga belas tahun yang lalu ketika saya menginjakkan kaki pertama kali di Blora, ruas jalan Cepu-Blora rusak parah. Saya sampai malas untuk pulang ke Bojonegoro karena jalan berlubang di sana-sini. Akan tetapi, setelah ruas jalan Cepu-Blora menjadi jalan nasional pada tahun 2016, perlahan tapi pasti jalan yang rusak tersebut diperbaiki. Hasilnya bisa dirasakan oleh masyarakat saat ini. Kedua, kolaborasi Pemkab Blora dan Pemkab Bojonegoro dalam membangun jalan penghubung Jembatan Tembusan Bojonegoro-Blora (TBB) ke Bandara Ngloram, Cepu. Proyek senilai Rp 34 Miliar iru berasal dari Bantuan Keuangan Pemkab Bojonegoro kepada Pemkab Blora untuk membangun 4 ruas jalan yaitu Menden-Ketuan, Ketuan-Panolan, Panolan-Klagen, dan Sidorejo-Kenongogong. Ketiga, dukungan pemerintah pusat melalui Kementerian PU & PR kepada Pemkab Blora. Seperti yang dilansir pada https://pu.go.id , dukungan pemerintah pusat kepada Kabupaten Blora diwujudkan melalui Inpres jalan daerah di tahun 2023 berupa rekonstruksi ruas jalan Wulung-Klatak sepanjang 10,88 km, ruas jalan Purwodadi-Wirosari-Blora sepanjang 3,40 km dan ruas jalan Purwodadi-Wirosari-Blora 1 sepanjang 3,15 km. Desa wisata yang kian berkembang Selain pembangunan jalan, wisata Kota Mustika juga semakin berkembang. Pemerintah setempat tampak serius menggarap desa-desa wisata yang ada seperti Kampung Samin di Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong dan Noyo Gimbal View di Desa Bangsri, Kecamatan Jepon. Mengapa saya bangga dengan dua desa itu? Pertama, Kampung Samin di Desa Wisata Sambongrejo menyabet juara harapan IV kategori Desa Wisata Berkembang pada ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia 2023 (ADWI). Ajang bergengsi itu digelar oleh Kemenparekraf. Di desa ini kalian bisa belajar tentang kearifan lokal Sedulur Sikep (suku Samin), peternakan, membatik dan lain-lain. Kalo ingin bermalam di sana gimana dong? Kalian nggak usah khawatir di sana sudah disiapkan homestay di rumah-rumah warga. Kedua, Noyo Gimbal View di Desa Bangsri. Seperti halnya Desa Wisata Sambongrejo, Noyo Gimbal View di Desa Wisata Bangsri juga menunjukkan prestasi. Ia masuk dalam 15 besar Lomba Desa Wisata Nusantara (LDWN) 2023 yang diselenggarakan oleh Kementerian Desa PDTT. Apa sih yang menarik di sana? Banyak orang bilang objek wisata yang satu ini adalah obyek wisata yang “mewah” alias mepet sawah. Sebagian lahan persawahan di sana diubah menjadi destinasi wisata. Kalian bisa menikmati suasana alam yang menyenangkan dengan duduk-duduk di gazebo sambil memberi makan ikan. Selain itu, di Noyo Gimbal View kalian bisa berwisata kuliner yang dijamin maknyus rasanya. Di atas adalah beberapa perbaikan yang saya rasakan di Blora. Memang sih kabuoaten ini masih banyak kekurangan di sana-sini, tapi ingat, pembangunan suatu daerah tidak bisa diselesaikan dalam satu malam, pemerintah bukan Roro Jongrang. Selain itu, pemerintah juga perlu keterlibatan masyarakat untuk mewujudkan pembangunan daerah setempat. Source by: Rudy Tri Hermawan mojok.co ○ Berbicara soal Blora, saya nggak setuju kalau yang diingat hanya Cepu. Memang Cepu mempunyai sejarah panjang dalam bidang minyak dan gas bumi, tapi ada wilayah lain di Kabupaten Blora yang layak dipilih sebagai referensi tempat tinggal. Tempat tersebut adalah Kecamatan Jepon. Saya menyebut Jepon adalah kota satelit atau wilayah penyangga Kabupaten Blora. Lho, kok bisa begitu? Berikut beberapa alasannya. #1 Kecamatan Jepon dekat dengan pusat kota Blora Kota satelit adalah kota di tepi sebuah kota yang lebih besar yang meskipun merupakan komunitas mandiri, sebagian besar penduduknya tergantung dengan kehidupan di kota besar. Nah, karena wilayah Kecamatan Jepon berbatasan langsung dengan Blora kota, maka layak dijuluki sebagai “kota satelit” atau wilayah penyangga Blora. Jarak dari pusat kota Blora ke Jepon nggak jauh karena hanya berjarak 6 kilometer. Kecamatan Jepon mempunyai 25 desa/kelurahan dengan luas 107,72 kilometer persegi. Selain nggak jauh dari pusat kota, wilayah Kecamatan Jepon juga strategis karena dilintasi jalan nasional Cepu-Blora sehingga banyak dilalui kendaraan pribadi maupun angkutan umum dengan tujuan ke Semarang dan Surabaya. #2 Banyak berdiri kantor pemerintahan di Kecamatan Jepon Di wilayah Kecamatan Jepon tepatnya di Desa Seso, banyak sekali dibangun kantor pemerintah. Beberapa di antaranya kantor Satpol PP, Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Polres, dan Mal Pelayanan Publik (termasuk di dalamnya ada DPMPTSP dan Disdukcapil). Selain beberapa kantor tersebut, tak lama lagi gedung Kejaksaan Negeri Blora juga akan dibangun di sini lho, Gaes. Kok banyak kantor pemerintahan di sini? Ya karena letaknya berbatasan dengan langsung Kecamatan Blora dan dilintasi jalan nasional Blora-Cepu, makanya kantor-kantor pemerintah sengaja dibangun di sini sebagai tanda “pintu masuk” ke pusat Kota Blora. Nah, kalau datang dari arah Surabaya menuju ke Semarang, ketika sampai perempatan lampu merah Desa Seso, kalian akan menjumpai gedung pemerintah di sebelah kiri dan kanan jalan. Kalau sudah sampai situ berarti ke pusat Kota Blora sudah nggak jauh lagi. #3 Tersedia berbagai fasilitas umum Selain kehadiran kantor-kantor pemerintah, di Kecamatan Jepon juga dilengkapi dengan sarana olahraga. Meskipun perlu pembenahan di sana-sini, Stadion Kridaloka menjadi tempat favorit untuk berolahraga bagi warga sekitar. Selain stadion, ada juga gedung serbaguna yang bisa digunakan para pencinta olahraga bulutangkis. Bahkan menurut saya, gedung serbaguna Jepon ini layak disebut sebagai lapangan badminton terbaik di Kabupaten Blora. Oleh sebab itu perlu dipromosikan agar bisa menjadi venue acara olahraga berskala regional dan nasional. Untuk fasilitas kesehatan, di Kecamatan Jepon sudah berdiri Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Blora. Rumah sakit ini terbilang cukup maju dan menjadi tempat alternatif bagi warga yang ingin berobat selain rumah sakit pelat merah yang sudah ada. Tak jauh dari sana berdiri Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Muhammadiyah Blora yang memiliki tiga program studi, yakni S-1 Pendidikan Agama Islam, S-1 Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, dan S-1 Pendidikan Islam Anak Usia Dini. Jadi, warga Blora yang ingin melanjutnya pendidikan ke jenjang perguruan tinggi nggak perlu jauh-jauh keluar kota, kan? Di Kecamatan Jepon saja ada, kok. #4 Ada destinasi wisata yang menarik Soal destinasi wisata, Kecamatan Jepon layak diunggulkan. Salah satu destinasi wisata paling hits yang ada di sini adalah Noyo Gimbal View. Kenapa saya sebut layak diunggulkan? Karena Noyo Gimbal View masuk dalam 15 besar Lomba Desa Wisata Nusantara (LDWN) 2023 yang diselenggarakan oleh Kementerian Desa PDTT. Destinasi wisata yang terletak di Desa Bangsri ini menyediakan panorama persawahan yang menyejukkan mata, Gaes. Di tengah-tengah persawahan tersebut kalian bisa menikmati kuliner sambil berteduh di bawah gazebo yang sudah tersedia. Selain itu, anak-anak juga bisa diajak naik kereta api dan memberi makan ikan. Destinasi wisata berikutnya adalah Warung Dhuwur Blora (WDB). Kata “dhuwur” diambil dari bahasa Jawa yang artinya tinggi. Tempatnya ada di ketinggian, dong? Memang demikian adanya, Gaes. Jadi, tempat ini adalah destinasi wisata alam yang terletak di daerah perbukitan tepatnya di Desa Soko. Dengan ketinggian kurang lebih 250 mdpl, kalian bisa menikmati keindahan alam yang terhampar di sana dan kota Blora dari kejauhan. Bagi kalian yang suka foto-foto bisa mengunjungi WDB Garden yang menyediakan berbagai jenis tanaman khususnya bunga. Pokoknya nggak rugi deh kalau datang ke Kecamatan Jepon. #5 Banyak destinasi wisata kuliner Soal kuliner, nggak usah khawatir, Gaes, di Kecamatan Jepon lengkap. Pernah mendengar kelezatan Lontong Opor Ngloram Pak Pangat? Kuliner satu ini memang terkenal di kawasan Cepu, tapi salah satu cabangnya ada di Kecamatan Jepon. Jadi, kalau kalian berada di Blora kota atau datang dari arah Semarang nggak usah jauh-jauh ke Cepu, kalian bisa mencoba Lontong Opor Ngloram yang ada di Jepon. Masalah rasa nggak kalah sama yang ada di Cepu, kok, sama-sama maknyus! Kalau suka kulineran di malam hari, kalian bisa mencicipi aneka kuliner yang berderet-deret di depan Pasar Jepon. Tinggal pilih saja apa yang menjadi menu favorit kalian. Ada nasi pecel, lontong sayur, sate ayam, dan masih banyak yang lainnya. Warung-warung ini buka sampai pagi, Gaes. Jadi, kalau kalian tengah malam terjaga dari tidur karena perut minta diisi nggak usah khawatir, ya. Langsung saja kulineran di depan Pasar Jepon. Sekali lagi, Blora nggak hanya Cepu, Gaes. Kalian salah besar kalau masih berpikiran seperti itu. Selain Blora kota, saya merekomendasikan Jepon sebagai referensi bagi kalian yang ingin menetap di Blora. Kalau nggak percaya coba datang ke sini, deh, dijamin betah! Source by: Rudy Tri Hermawan mojok.co ○

Media Artikel JDIH Kabupaten Blora